Tesla Robotaxi Saja Bermasalah, Ini Alasan Taksi Autopilot Belum Cocok di Indonesia!

MOTORESTO.ID, JAKARTA - Tesla telah meluncurkan layanan Robotaxi di Austin, Texas, pada Juli lalu. Digadang-gadang jadi tonggak revolusi transportasi masa depan. Namun nyatanya, mobil otonom ini sudah mengalami empat insiden dalam jarak tempuh baru sekitar 11.000 kilometer.
Dilansir dari Carscoops, sebuah Tesla Model Y sempat menabrak objek diam dengan kecepatan 12 km/h, sementara insiden lain melibatkan tabrakan kecil dengan sebuah SUV saat berbelok. Bahkan ada kasus roda Robotaxi yang menyenggol mobil terparkir.
Pertanyaannya, kalau di negara bagian Amerika saja yang infrastrukturnya jauh lebih tertata Robotaxi masih bisa bermasalah, bagaimana dengan Indonesia? Mari kita bahas beberapa alasan mengapa Robotaxi atau Taksi Autopilot belum bisa beroperasi disini.
Perlu diingat bahwa artikel ini bertujuan untuk mengedukasi, bukan untuk tujuan lain. Yuk lanjut.
Lalu Lintas Yang "Kreatif"
Di Austin, jalan raya hingga marka jelas, dan lalu lintas relatif teratur. Meski begitu, Tesla Robotaxi masih bisa salah baca situasi. Bayangkan kalau dicoba disini, masih banyak pengendara suka lawan arah, marka jalan sering hilang, bahkan parkir sembarangan.
Alhasil, Autopilot kemungkinan besar akan mengalami "Overload" membaca pola jalan yang padat dan abstrak. Buat manusia saja kadang bikin pusing, apalagi buat sensor dan kamera Autopilot yang harus membaca pola jalan dengan presisi.
Infrastruktur dan Kondisi Jalan
Tesla bisa mengoperasikan Robotaxi di Texas karena jaringan charging sudah tersebar luas. Sedangkan di Indonesia, SPKLU masih tergolong terbatas. Meski mayoritas sudah fast charging, belum tentu SPKLU nya tersedia, bisa saja penuh dengan pengguna lain.
Ditambah, kondisi jalan yang berlubang, dilengkapi dengan hujan deras dan banjir, ini merupakan faktor yang membuat sensor lidar dan kamera rawan error. Di Austin, mobil bisa gagal hanya karena berbelok pelan. Di Jakarta, mobil autopilot bisa-bisa panik menghadapi genangan air, apalagi pemotor yang nyalip dari trotoar.
Kepercayaan dan Regulasi

Kasus Tesla membuktikan satu hal, meski teknologi sudah canggih, kepercayaan publik belum sepenuhnya terbentuk. Di Indonesia, interaksi dengan sopir masih dianggap penting, dan sudah menjadi kebiasaan. Dan ini sangat bisa dipahami.
Banyak orang (termasuk saya) belum siap duduk di kursi belakang tanpa ada yang mengemudi di depan. Satu hal lagi, Tesla masih merahasiakan banyak detail soal kecelakaan Robotaxi. Di Indonesia, regulasi kendaraan otonom masih belum jelas.
Bila terjadi insiden, siapa yang akan bertanggung jawab? Operator? Produsen? Penumpang? Masih abu-abu. Tanpa kepastian hukum, Robotaxi bisa jadi masalah besar.
Biaya Masih Belum Masuk Akal
Tesla membangun armada Robotaxi yang menggunakan sistem autopilot mahal. Kalau di Indonesia, memang sudah ada beberapa mobil listrik yang menjadi armada taksi. Namun, lebih masuk akal sopir manusia dibanding investasi triliunan rupiah untuk teknologi yang belum tentu cocok.
Kasus di Austin menjadi gambaran, Robotaxi bukan tanpa masalah, bahkan di negara dengan infrastruktur maju sekalipun. Mungkin suatu saat nanti, kalau lalu lintas kita lebih tertib, infrastruktur EV luas, dan regulasi jelas, Robotaxi bisa jadi solusi.
Tapi untuk sekarang? Robotaxi lebih cocok jadi tontonan YouTube ketimbang transportasi harian di Jakarta.