Mau Kembangkan Pasar EV di Tanah Air, Wajib Bangun Pabrik
MOTORESTO.ID,JAKARTA-- Gagasan untuk mendatangkan kendaraan listrik (EV) dalam bentuk utuh atau Completely Build Up (CBU) merupakan gagasan menarik. Masyarakat dinilai memiliki banyak pilihan untuk memutuskan membeli kendaraan listrik yang beredar di pasaran. Namun, sebaiknya pabrikan yang mendapat kesempatan impor CBU harus segera membuka pabriknya di Tanah Air.
Saat ini tren kendaraan listrik juga terjadi di banyak negara, termasuk Indonesia karena populasinya dinilai masih kurang. Di Indonesia sendiri yang memiliki bahan baku pembuatan baterai juga berpotensi menjadi pasar sekaligus produsen EV. "Tapi kita tidak mau sepenuhnya jadi pasar, kita harus jadi produsen," kata Kukuh Kumara, Sekum Gabungan Industri Kendaraan Bermotor Indonesia (GAIKINDO), Kamis (26/1).
Meski Indonesia merupakan pasar mobil terbesar di Asia Tenggara, namun kompetisi penjualan kendaraan harus berjalan dengan adil. Dengan persaingan yang sehat, akan terbentuk harga yang terjangkau. Konsumen juga memiliki banyak pilihan EV selain sedan ada SUV, MPV dan pilihan lainnya.
Bagi pabrikan yang tidak menepati janji untuk memproduksi di Tanah Air, tentunya ada konsekuensi yang harus siap ditanggung. "Ada pinalti buat mereka, biasanya maksimal 2 tahun. Tapi buat yang serius cukup 1 tahun mereka sudah mulai bangun pabrik dengan kandungan lokal yang sesuai ketentuan, ngapain lama lama kan mahal biaya impornya," kata Kukuh.
Di tempat terpisah, Insan Praditya Anugrah dari FHISIP Universitas Terbuka menekankan insentif sebaiknya lebih diarahkan pada produk lokal, dengan merek asing yang ingin menikmati subsidi diwajibkan untuk melakukan transfer teknologi dan terlibat dalam riset dan pengembangan di Indonesia.
Subsidi kendaraan listrik impor oleh pemerintah pada tahap awal ini dimaksudkan untuk mengurangi emisi polutan yang sifatnya mengancam lingkungan dan meningkatkan minat masyarakat sehingga tercipta pasar yang lebih luas bagi kendaraan listrik di Indonesia.
"Tentunya, subsidi bagi prinsipal yang membangun fasilitas produksi di Indonesia lebih tinggi dengan insentif keringanan Ppn dari 11 persen menjadi hanya 1 persen. Namun, subsidi bagi kendaraan impor tidak boleh terlalu lama, paling lama sampai akhir 2025 agar industri nasional dapat tumbuh dan berkembang,” ujar Insan.
Ia juga mengatakan Insentif jangka pendek seperti pembebasan pajak impor mungkin memperkaya pilihan konsumen dan mempercepat adopsi EV, tetapi berpotensi mengancam produksi dan lapangan kerja lokal dalam jangka panjang.
Merek asing juga sebaiknya diwajibkan untuk mengadopsi TKDN yang tinggi dan melibatkan modal pengusaha nasional di atas 60 persen. Hal ini penting untuk menghindari kegagalan seperti yang terjadi pada era Orde Baru, di mana transfer teknologi tidak dilakukan sepenuhnya oleh prinsipal asing.